Setiap
manusia muslim pasti menginginkan survive hidup, baik di dunia maupun di
akhirat. Modal utama untuk dapat survive dalam kehidupan di dua alam tersebut
adalah ilmu, hal itu sebagaimana tersuara dalam sabda Rasulullah SAW, yaitu:
“Barangsiapa menghendaki
kebahagiaan di dunia, maka ia harus berilmu; barangsiapa menghendaki
kebahagiaan di akhirat, maka ia harus berilmu; dan barangsiapa menghendaki
kebahagiaan pada keduanya, maka ia harus berilmu”. (HR. Thabrani)
Dengan
memiliki ilmu pula seseorang dapat mencapai derajat sebagai ulul albab, yaitu
orang-orang yang dapat memikirkan dan meneliti keagungan Allah melalui
ayat-ayat qauliyah yang terdapat dalam Kitab Suci Al-Qur’an dan ayat-ayat
kauniyah ( tanda-tanda kekuasaan Allah) yang terdapat di alam semesta. Mereka
menjadi ilmuwan dan intelektual, tetapi mereka rajin berdzikir dan beribadah
kepada Allah SWT sebagaiman firman-Nya:
“Sesungguhnya dalam penciptaan
langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil
berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah engkau
menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari
siksa neraka”
(Q.S. Ali Imran,3: 190-191)
Untuk
mencapai derajat ilmuwan dan intelektual tersebut, kita dituntunkan untuk
berusaha meraihnya, kapanpun, dimanapun, dan sampai manapun, sebagaimana pesan
gambaran Rasulullah SAW berikut:
“Barangsiapa menempuh suatu jalan
untuk menuntut ilmu, niscaya Allah akan memudahkan baginya menuju surga, dan
selama suatu kaum berkumpul dalam sebuah rumah di antara rumah-rumah Allah,
dimana di antara mereka membaca kitab Allah dan mempelajarinya maka Malaikat
merendahkan sayapnya yang mendatangkan ketenangan di atas mereka.
(HR. Ibnu Majah)
Tujuan Menuntut Ilmu
Ada
beberapa tujuan dalam menuntut ilmu. Tujuan yang utama adalah untuk
meningkatkan keimanan pada dirinya. Hal itu sebagaimana tersirat dalam ayat
berikut:
“Dan agar dia mengetahui bahwa
orang-orang yang telah diberi ilmu meyakini bahwasanya Al-Qur’an itulah yang
hak dari Tuhan-mu lalu mereka beriman dan Tunduk hati mereka kepadanya dan
sesungguhnya Allah adalah pemberi petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada
jalan yang lurus.”
(Q.S. Al-Hajj, 22:54)
Namun
demikian tidak sedikit orang yang menuntut ilmu hanya untuk kepentingan
pragmatis semata, yaitu untuk memperoleh nilai, serifikat atau ijazah, yang
dengan hal itu dapat memperoleh pekerjaan yang layak, dan akhirnya dapat gaji
yang layak pula. Padahal dalam konsep islam, menuntut ilmu harus diniati
lillahi ta’ala dan untuk memperoleh ridha Allah semata. Nilai, sertifikat,
ijazah dan pekerjaan hanya sebagai side effect yang dilakukan seseorang dan hal
itu juga telah dijanjikan Allah dalam ayat berikut:
“Niscaya Allah akan meninggikan
orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Q.S.
Al-Mujadilah, 58:11)
Syarat Menuntut Ilmu
Suatu
saat Imam Syafi’i menceritakan keluhnya pada seorang gurunya dengan ungkapan:
“Saya mengeluh pada seorang
guruyang bernama Waki’ tentang jeleknya hafalan/ kesulitan menghafal, kemudian
ia meberi petunjuk kepada saya untuk meninggalkan perbuatan maksiyat, dan ia
juga memberitahu saya bahwa ilmu itu adalah cahaya, dan cahaya Allah itu tidak
akan dipancarkan pada orang yang berbuat maksiyat.”
Sebagai seorang murid/mahasiswa/pembelajar
harus memiliki sifat-sifat ilmuwa, yaitu kritis, terbuka menerima kebenaran
dari manapun datangnya, serta senantiasa menggunakan daya nalar (Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, 2001:41), sebagaimana pesan-pesan Allah berikut:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa
yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangya. Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (Q.S.
Al-Isra’ 17:36)
“Yang
mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik dianataranya. Mereka
itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah
orang-oramg yang mempunyai akal.” (Q.S. Az-Zumar, 39:18)
Disamping
itu, agar dapat belajar dengan maksimal, setiap orang harus menghadirkan atau
melibatkan empat unsur yang ada didalam dirinya selama belajar, yaitu unsur
fisik/jasmani, unsur akal/fikiran, unsur qolbu/hati nurani, dan unsur ruh. Jika
salah satu dari empat unsur tersebut tidak secara optimal dihadirkan akan
mempengaruhi kualitas dalam belajar, dimana belajarnya juga tidak akan optimal.
Etika Selama Menuntut Ilmu
Imam
Al-Ghazali dalam kitab ihya ‘ulumuddin menjelaskan bahwa orang yang sedang
menuntut ilmu perlu memperhatikan beberapa hal berikut:
a. Mendahulukan
kebersiah jiwa, hal ini dimaksudkan agar ia dimudahkan oleh Allah untuk
memenuhi dan mengamalkan ilmu yang diperolehnya.
b. Mengurangi
kesenangan duniawi dan (apabila perlu) menjauh dari tempat tinggalnya hingga
hatinya terpusat untuk ilmu.
c. Tidak sombong
dalam menuntut ilmu dan tidak membangkang kepada guru/dosen, tetapi memberinya
kebebasan dalam mengajar
d. Menghindar dari
mendengarkan perselisihan-perselisihan di antara sesama manusia, karena hal itu
akan menimbulkan kebingungan.
e. Tidak menolak
suatu bidang ilmu yang terpuji, melainkan ia menekuninya hingga mengetahui
maksudnya.
Luqman
al-Hakim juga pernah menasehati anaknya: “ Hai anakku, bergaullah dengan ulama’
(orang yang berilmu) itu, dan dengarkanlah perkataan ahli hikmat, karena
sesungguhnya Allah menghidupkan hati yang mati itu dengan cahaya hikmah (ilmu),
sebagaimana Allah menghidupkan bumi yang mati dengan air hujan yang lebat.”
Heri Jauhari Muchtar (2005:160-161), memerinci tentang bentuk-bentuk
menghormati atau memuliakan guru/dosen/ pendidik antara lain:
a.
Mengucapkan
salam apabila bertemu dengannya.
b.
Bertutur kata
dan bersikap yang sopan apabila berahadapan dengannya.
c. Mendengarkan,
memperhatikan, dan menyimak semua perkataan atau penjelasannya ketika mereka
mengajar atau berbicara dengan kita.
d.
Mengerjakan
semua tugas yang diberikan dengan baik, tepat waktu dan sungguh-sungguh.
e.
Mengamalkan ilmu
yang telah didapat dengan benar.