Wacana Keilmuan dan Keislaman

Saturday, February 11, 2017



Setiap berangkat kerja, aku selalu berpapasan dengannya. Namanya Pak Sambudi. Aku kenal beliau sejak aku masih duduk di bangku SMP. Usianya sekarang mungkin 70 tahun lebih. Meski begitu, ia masih terlihat segar. Senyum ramah selalu tersungging di wajahnya. Lebih dari separuh hidupnya, ia habiskan sebagai pegawai di kantor kecamatan.
Masih teringat jelas di benakku, bagaimana antusiasme Pak Sambudi saat masih aktif bekerja sebagai staff administrasi kecamatan. Dengan kehangatan khas yang dimilikinya, Pak Sam selalu sabar dan tulus melayani satu persatu masyarakat yang membutuhkan pelayanan.
Sekarang, saat ia sudah pensiun, orang orang masih menyayanginya. Bahkan banyak yang memang sengaja meluangkan waktu untuk datang berkunjung ke rumah Pak Sam, sekedar untuk ngobrol menyambung tali silaturahmi ataupun sekedar memberikan oleh oleh. Mungkin orang orang itu masih terkesan dengan sikap dan pelayanan yang pernah diberikan Pak Sam.
Benar kata orang bijak, “Apa yang datang dari hati, akan selalu mendapat tempat di hati”. Dan menurutku, Pak Sam adalah salah satu contohnya. Ia adalah orang yang memahami dengan benar esensi pekerjaannya. Ia menjadi insan yang mulia karena apa yang dikerjakannya.
Bunda Teresa juga pernah bilang, “apapun pekerjaan atau jabatan kita, jika diusut ke akarnya, sesungguhnya adalah sebuah eksistensi bagi kita untuk melayani”.
Sebuah teladan tentang pelayanan lewat pekerjaan, juga ditunjukkan oleh Abraham Lincoln. Pada masa kepresidenannya, perang saudara antara Utara dan Selatan tengah berkecamuk. Sebagai bentuk rasa hormatnya kepada para prajurit, Lincoln sering berkunjung ke rumah sakit.
Pada suatu kunjungan, dilihatnya seorang prajurit hampir mati. Lincoln mendekati prajurit itu dan berkata, “Adakah sesuatu yang dapat kulakukan untuk meringankan penderitaanmu, Nak?” Karena lukanya yang parah, prajurit itu tak mampu mengenali siapa pria baik hati itu.
“Sudikah Bapak menuliskan sebuah surat untuk ibuku?” tanya si prajurit kepada pria yang mendekatinya. Pria itu pun segera mengambil kertas dan pena untuk menuliskan surat bagi si prajurit.
Terbata-bata si prajurit mendiktekan suratnya, “Ibu tersayang, anakmu terluka parah dalam perang. Mungkin Aku tidak akan pernah sembuh. Jika aku pergi, janganlah terlalu merasa kehilangan. Peluk ciumku untuk Mary dan si kecil, John.”
Si prajurit terkulai dan tidak sanggup meneruskan suratnya. Maka pria yang menuliskan surat untuknya itu segera menandatangani surat pendek itu dan menambahkan tulisan di surat itu, “Ditulis oleh Abraham Lincoln untuk anak Anda,” kemudian untuk terakhir kalinya, ia menunjukkan surat itu kepada si prajurit untuk dibacanya.
Si prajurit terkejut menyadari bahwa pria baik hati itu tidak lain adalah Presiden Abraham Lincoln. Lantas sekali lagi ia bertanya, “Tuan Presiden, sudikah Tuan menggenggam tanganku?” Dan, Presiden Lincoln pun menggenggam tangan prajurit muda itu sampai ia menutup mata untuk selamanya.
Lincoln tidak sempat menanyakan nama si prajurit. Secara pribadi ia tidak mengenal pria muda itu, tapi ia menaruh peduli pada penderitaannya. Genggaman tangan Lincoln adalah kepedulian yang tak ternilai bagi si prajurit, yang menemaninya melewati derita dan ketakutan dalam menghadapi kematian.
3:52 PM   Posted by My Science in with No comments

0 komentar:

Post a Comment

Search